Minggu yang Terganggu


Harapannya, akhir dari rutinitas sehari-hari adalah kebersamaan bersama keluarga, menikmati alam, olahraga bersama, bermain bersama anak. Tapi hingga hari minggu menepi, sepertinya ikatan ini masih saja membelenggu. Tak terelakkan, komitmen untuk memberikan yang terbaik agar roda-roda pekerjaan berjalan sempurna, atau paling tidak, terhindar dari risiko-risiko yang dikhawatirkan.


Dilematis memang, dan ini sangat sekali wajar terjadi. Kita berada dalam beberapa pilihan. Ekstrimnya dibilang simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Tapi tidak lah, meski mirip-mirip itu juga. Ke kanan dimakan buaya, ke kiri dimakan harimau. Jadi yang benar, ga usah ke kanan atau ke kiri. Kan ga bakal dimakan buaya atau harimau. Hehehe.. joke aja lah.

Aaahh.. itu kenapa ada gambar kucing melas gitu sih? Jadi kebayang wajah anak yang menunggu pulang ayahnya. "Sabar ya nak... ayah akan pulang. Bawa oleh-oleh untuk kita semuanya. Sekarang ayah masih harus menyelesaikan pekerjaan, supaya banyak orang terbantu. Nanti setelah kamu besar, juga akan tahu, bahwa hidup ini haruslah terus dikaryakan demi banyak orang. Tunggu ayah yaa..".

Meski hanya menjadi seorang kuli kantor, peran masing-masing orang menjadi begitu vital dalam sebuah proses organisasi. Tak ada yang tak penting. Semua harus berjalan berdasarkan tupoksinya, yaitu bagian-bagian yang menggerakkan sistem yang sudah disusun sedemikian rupa, agar denyut nadi organisasi tetap terjaga.

Minggu yang Terganggu. Sepertinya menjadi judul yang ambigu. Antara benar-benar terganggu, tapi menyatakan kesiapannya dalam komitmen berkorban. Andai ini adalah bagian dari proses keihlasan, biarlah judul ini muncul apa adanya. Karena tak ada yang dapat memahami hati seseorang, selain orang itu sendiri dan Allah Swt. Semoga benar-benar ihlas, hingga Minggu menjadi selalu menggebu. Tetep semangat, tetap kuat. Jaga keimanan, jaga keihlasan.

Salam,

Posting Komentar

0 Komentar